Salam untukmu yang datang, maaf sedikit berdebu

Selasa, 28 April 2009

Suatu Nanti


Di suatu nanti
perjalanan akan terasa semakin membingungkan
melalui bilangan yang tak lagi tercatat dalam kalender
dan
orang akan lupa menamai tiap pergantian malam dengan namanama hari.

Suatu nanti
matahari terendam kelabu
segenap penjuru sudah tak lagi mampu terbaca kompas
utara selatan timur barat benarbenar terabaikan.





Miftahuddin Munidi
KTP, 2009

Senin, 27 April 2009

Gelisah Pengaduan, Kawan


BANJARMASIN, SEDIKITPINTAR – Dalam kegelisahan, malam yang terasa kian memanjang tiap harinya membuat perenunganku terombang-ambing di lautan maha luas. Ilmu pengetahuan yang selama ini aku banggakan hanya menjadi sebuah cahaya semu tanpa diwadahai oleh pemahaman yang kokoh. Sebab tahu banyak hal mengenai ilmu pengetahuan belum tentu mampu mengerti dan memahaminya. Seperti katamu kawan; garam itu bukanlah lautan, biar sama asinnya.

Sebenarnya ocehanku kemarin hanyalah sebuah luapan kegelisahan. Aku begitu terobsesi dengan Syeh Siti Jenar sehingga menganggap angkuh para wali. Aku terlalu berpijak pada tingginya kecerdesanku hingga tak mampu lagi melihat bumi. Aku terpukau dengan langit padahal dari tanahlah aku berasal.

Dalam kegelisahan yang sama, aku pun sepertimu berwujud manusia biasa. Memiliki sebongkah hati dari perpaduan antara akal dan nafsu hingga melahirkan perasaan. Ya, sebuah perasaan yang terkadang aku jadikan inspirasi setiap tulisanku. Tapi, sebenarnya aku sendiri tak yakin rasio antara akal dan nafsuku didalamnya. Entah lebih dominant yang mana.

***

Tentang Nabi SAW, aku mengatakan padamu agar jangan menirunya. Berpijak pada alasan membandingkan antara kemuliaanya dan kehinaan kita. Oh, seperti itukah?

Semua aku yang teledor, aku tak pernah bertanya pada Tuhan yang telah memberi segala kemuliaan itu. Lalu memerintahkan aku (dengan segala kehinaan) untuk menjadikannya panutan dalam segala hal kehidupan.

Nabi SAW pun sebenarnya pernah berkata, bahwa beliau hanyalah manusia biasa seperti aku dan kalian. Jika dulu aku mampu menafsirkan lebih bijaksana, sebenarnya tersirat sebuah hikmah penciptaan kenapa wujud beliau SAW dari Jenis Manusia. Bukan malaikat. Bukan pula jin atau jenis makhluk lainnya.

Kawan, seandainya kau tahu betapa galaunya jiwa yang terhempas dari sudut ke sudut ini. mungkin akan ada malammu yang tak tersentuh mimpi.

(Minyak tak akan pernah menyatu dengan air.
Sebab air tak akan bisa seperti minyak,
dan minyak tak akan pernah bisa menjadi air.)

Kawan,
Ada bagian yang tak terungkap dari larangan itu; sebenarnya memang sangat susah ketika harus menyamakan secara kapasitas kebaikan kebaikan Nabi seutuhnya dengan kita. tiru saja kebaikannya itu dalam skala kita sebagai manusia biasa. walau kualitasnya menjadi 1000:1.

Kebaikan tetaplah sebuah kebaikan. Dilakukan oleh Nabi atau kita (yang dikatakan hina) ini tetaplah bukan dosa. Semoga aku kembali mampu mengatakan untuk meniru Nabiku. bukan Hitler atau yang lainnya.

Hanya Allah yang mutlak dalam segala kebenaran. Lalu kebenaran itu menjadi relatif dalam tafsiran manusia sepertiku.