Salam untukmu yang datang, maaf sedikit berdebu

Senin, 23 Februari 2009

Hanya Mimpi

BANJARMASIN, SEDIKITPINTAR – Malam ini aku ingin melihatnya sekali lagi dalam mimpi. Ya, hanya sekali saja, setelah itu aku pamit.

Mimpi hanyalah bunga tidur bagi sebagian orang. Sesuatu yang dianggap biasa saja. Tapi bagiku mimpi menjadi kembara yang tak berbatas ruang ataupun jarak. Tak perlu kelogisan untuk hidup di dalamnya. Cukup sebuah tidur yang sederana maka aku akan disambut dengan segala macam cerita kehidupan alam bawah sadar.

Memang semuanya cuma persinggahanku di negri antahberantah yang akan sirna ketika matahari sampai pada titik terbitnya. Bersamaan dengan embun yang menguap, mimpi itu akan tergantikan oleh dunia nyata. Aku sadar betul akan hal itu. Tapi aku masih enggan mematahkan sayap-sayap yang selalu mampu membawaku terbang menemuimu. Tidak perduli seberapa jauh kau pergi dan sembunyi.

Dari malam yang legam perjalanan itu biasanya aku mulai. Dari sepi yang menempel di sudut-sudut kamar, kelana itu terjadi. Dengan mempertemukan kelopak mata, kegelapan menunjukan pintu rumahmu. Cukup sekali ketukan maka kamu akan datang memelukku dengan penuh cinta. Mencium dengan penuh kehangatan. Memendarkan kebersamaan di kerinduan yang teramat barbar.

Tak ada yang memperdulikan pakaian kita dalam mimpi. Tak ada undang-undang pornografi atau dianggap asusila. Kebebasan adalah peraturannya. Khayalan menjadi undang-undangnya. Lengkapi saja tidurmu dengan rasa nyenyak. Maka tak ada yang menghalangimu menjamah “hutan terlarang” sekalipun.

Mimpi juga bukan dosa yang memasukkan kita keneraka. Walaupun bukan surga seperti yang telah dijanjikan. Toh, ada rindu yang terobati. Sedikit dahaga yang terbasahkan oleh sungai tanpa harus mengenal lautan. Nikmati saja rotasi semu ini. cumbuan tak akan mengakibatkan apa-apa dan sampai kapanpun. Tak ada yang perlu ditakutkan dalam benakmu. Tanpa ada keharusan berfikir alasan saling mencintai, sebab kecerdasan bukan ukuran saat ini. kebodohan tak akan membuatmu melakukan kesalahan. Kitalah raja dan ratu disini. Kitalah pahlawan tanpa kekuatan super. Kita saja tanpa harus ada orang lain. Ya, pastinya cuma milik kita; hanya aku dan kamu.

Walau hanya dalam mimpi ini aku mampu menambatkna cintamu di dermaga milikku. Melabuhkan perjalananmu dalam dekapan. Itu semua sudah cukup. Hanya malam ini aku berharap semua itu berulang. Hanya malam ini aku ingin melihat kamu hadir dalam mimpiku. Ya, hanya sekali saja dan setelah itu aku pamit.

Senin, 09 Februari 2009

Aku Diusir Dari Surga


BANJARMASIN, SEDIKITPINTAR – Dulu aku adalah penghuni surga. Melewati hari-hari dalam hidup dengan segenap kesenangan yang tak pernah bisa terlukiskan, walaupun dengan sederet kata-kata mutiara atau lusinan puisi indah. Namun sekarang aku telah terusir darinya. Terlempar dalam kehidupan yang serba keras dan akan terus mengeras lagi seiring dengan bertambahnya usia. Kedewasaan telah mengusirku dari surga. Masa-masa kecil dalam dekapan orangtua yang penuh dengan kasih sayang. Kedewasaan telah memaksaku menjadi manusia bumi seutuhnya. Menjejalkan perasaan-perasaan asing yang sebelumnya tak pernah aku rasakan.

Masa kecilku surgaku. Aku menghabiskan masa kecil di sebuah rumah sederhana dengan keluarga yang harmonis. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adikku lebih muda tujuh tahun dariku. Ketika itu tentu saja aku merasakan kasih sayang yang berlimpah dari kedua orangtuaku. Bagaikan raja aku diperlakukan oleh mereka. Tak perduli bagaimanapun kerasnya dunia luar. Cintalah yang mereka hadirkan padaku.

Aku merasa sangat beruntung dilahirkan dalam keluarga yang utuh. Memiliki ayah dan ibu yang merawatku. Kadang terbayang lagi olehku saat-saat seperti itu. ketika dalam ayunan dibuai hingga tertidur oleh ibuku sambil melantunkan beberapa lagu. Ketika makan aku tak perlu repot-repot karena disuapi oleh tangan lembutnya. Ketika ayahku mengajarkan bagaimana caranya menaiki sepeda yang baru dibelikan. Pokoknya sejuta kenangan indah yang terus berada dalam hatiku. Mungkin tidak hanya aku, anda pun memiliki kenangan manis seperti itu.

Tidak ada yang abadi di dunia ini. Akhirnya waktu menyeret paksa aku keluar dari pintu surga yang selama ini aku tempati. Usiaku terus bertambah. Perjalanan hidup mengharuskan aku tak bisa tinggal lebih lama lagi dalam surga tersebut. Ya, semua terus berputar pada porosnya. Malam berganti siang dan siang berganti malam. Keceriaan bermain gundu berubah jadi cinta asmara dan luka rindu.

Seandainya aku bisa tetap dalam masa kanak-kanakku. Maka aku akan menukarnya dengan apa saja. Tapi seperti Adam yang turun kedunia, akupun tak bisa mengelak dari garis yang sudah ditentukanNya. Bukan hanya aku sebenarnya. Setiap kita, anda, dia dan mereka sama saja. Semua harus terus melangkah hingga kematian yang entah kapan datangnya. Menjalani hidup sebagai manusia dewasa seutuhnya lengkap dengan segala permasalahannya.

Selasa, 03 Februari 2009

"Kebodohan" Milik Seorang Kawan ala Palestina



Beberapa waktu yang lalu, secara menyedihkan seorang kawan mengatakan bahwa keadaan yang terjadi di Palestina sekarang ini adalah karena kebodohan bangsanya sendiri. Sebab kesombongan mereka sendiri (silahkan baca hudannur.blogspot.com). Bahkan dia menambahkan bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang sombong dan angkuh. Semudah itukah menghakimi bangsa Arab dan Palestina? Harus diingat bahwa ketika berbicara tentang Palestina kita bukan hanya membicarakan tentang seseorang atau satu individu. Tetapi, membicarakan sekian banyak orang. Walaupun saya memaklumi bahwa maksud dari kawan tersebut adalah bodoh dalam beberapa hal dan sekelompok orang. Tetapi tetap saja terasa sangat dipaksakan.


Sebelum terlalu jauh, sekedar mengingatkan bahwa bukan bijak atau kearifan yang menjadi permasalahan untuk kita bahas kali ini. Bukan benar dan salah arah pembicaraan kita. Seimbang tak harus berbagi satu satu; nyawa dibayar nyawa dan darah dibayar darah. Ada sebuah perjalanan panjang untuk mengatakan ini adalah takdir yang tersirat dalam kitab suci kita, sekali lagi saya jamin bukan itu tujuan yang terfikir ketika menulis ini. Mengakui atau tidak, masih terlalu dangkal pengetahuan kita.


Tidak semua masalah yang terjadi harus dilihat dengan logika, sesekali gunakanlah nurani. Pakailah perasaan terhalusmu, jangan pakai ketajaman otakmu yang membelati. Menganalisa keadaan bangsa Palestina dengan dua warna saja, hitam putih; benar dan salah.


Minimal ada dua hal yang harus dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum memvonis “bodoh bangsa Palestina”. Pertama, alangkah konyolnya jika menganggap bodoh bangsa lain tanpa terlebih dahulu melihat keadaan bangsa sendiri. Terasa naïf ketika menuduh mereka sombong jika kita masih saja tak mampu berendah hati. Pernahkah kita menyadari dengan merendahkan bangsa mereka malah menunjukkan kesombongan kita sendiri? berarti kita merasa lebih baik dari mereka. Dengan mengatakan mereka bodoh menunjukkan kebodohan kita sendiri? Seolah kita lebih pintar dari mereka. Tak ubahnya menepuk air di dulang terkena muka sendiri.


Untuk lebih mudah memahami masalah ini, sebaiknya kita harus menjadikan bangsa kita sendiri sebagai pijakan atau parameter dalam mengukur kebodohan bangsa Palestina . Dalam beberapa hal sebenarnya negara kita tak jauh berbeda dengan mereka. Sama-sama dibelit masalah dan bencana. Secara umum sama-sama berusaha keluar dari penderitaan yang berkepanjangan. Dari musuh yang terus merongrong secara ganas dan menakutkan.

Perbedaannya terletak pada musuh yang dihadapi. mereka tahu dengan jelas siapa musuhnya. Berjuang habis-habisan mempertahankan keutuhan bangsanya walau harus mengalirkan darahnya sendiri. Malah dengan berani mengatakan rela mati demi negara yang mereka cintai sekaligus dibuktikan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Tepat bersamaan ketika kita sibuk saling tuduh tentang siapa penyebab kebobrokan bangsa kita. Mereka bersatu membela bangsanya. Tepat ketika kita saling tikam sesama saudara setanah air, mereka mengangkat senjata berusaha menyelamatkan keluarga mereka yang terancam nyawanya, sebab disana tak ada lagi tempat aman dari rudal-rudal Zionis yang menghantam bertugbi-tubi. Ketika sebagian kita menghabiskan waktu berorasi tentang keadilan, mereka sudah sibuk memperjuangkan keadilan. Semut di seberang lautan mampu kita lihat. Tapi kenapa gajah dipelupuk mata tak pernah kelihatan? Bukankah itu adalah pepatah dari negri kita sendiri yang sudah diajarkan semenjak bangku sekolah dasar?


Kedua, kita seharusnya tidak menyamaratakan mereka. Tidak ada suatu bangsa yang sempurna. Tidak ada suatu bangsa yang hanya diisi oleh orang-orang yang baik. Palestina atau Indonesia saya rasa sama saja. Walaupun saya terlihat sedikit arogan diatas dengan seolah-olah merendahkan bangsa sendiri. Namun bukan itu yang menjadi tujuan sebenarnya. Jujur saya tegaskan ini terlepas dari permasalahan Fatah dan Hammas, bukan pula pembelaan terhadap bangsa Palestina lalu menusuk bangsa sendiri. Sekedar menjadi pertimbangan sebelum membodoh-bodohkan bangsa lain. Sekarang Palestina dan entah mungkin akan ada bangsa lain yang dibodoh-bodhkan berikutnya.


Dengan mengatakan “Palestina, kebodohan bangsanya sendiri” berarti kita mengatakan bodoh orang-orang didalamnya. Kembali saya ingatkan ketika kita bicara tentang bangsa bukan hanya membicarakan satu orang atau individu. Tetapi ada sekian banyak orang yang termasuk di dalamnya. Lalu pada akhirnya sama saja kita mengatakan bodoh pada mereka semua yang ada dalam bangsa tersebut.


Secara sederhana kita analogikan seperti ini; jika kita mengatakan bodohnya bangsa Palestina sama halnya ketika orang mengatakan bangsa kita adalah bangsa yang korup. Jika hal tersebut dipahami secara general maka akan terlahir pemahaman bahwa semua orang yang ada di dalam bangsa Palestina adalah bodoh dan Indonesia adalah korup. Lalu sudah terimakah ketika anda dikatakan korup? Atau ayah anda dikatakan adalah orang yang korup? Sebab saya, anda dan ayah anda adalah salah satu elemen penyusun bangsa ini. kita semua adalah bangsa Indonesia yang dikatakan korup tersebut. Jadi sama saja dengan mereka bangsa Palestina yang dikatakan bodoh tersebut.


Sekedar penutup seadanya. Jika statemen Palestina kebodohan bangsanya sendiri tersebut lahir dari uforia mencari sensasi untuk ketenaran semata. Akibat penyakit latah yang lagi menular dimana-mana. Maka apalah artinya ketenaran tersebut? Tak perlu mengencingi sumur Zamzam untuk terkenal seperti pepatah bangsa Arab. Begitu juga tulisan ini bukanlah ditujukan seperti itu. Untuk bersahabat tak harus selalu sepakat. Tentang Palestina atau masalah lainnya. Pengertian tak akan pernah benar-benar ada jika tanpa benturan. Toh, kita pada akhirnya tak pernah sepakat tentang jumlah bintang-bintang. Cukup sekedar saling mengerti tentang keterbatasan masing-masing.

Senin, 02 Februari 2009

Ayo.. Dukung Saya


Jika seseorang mendaki dan sudah mencapai puncak. Maka tidak ada jalan lain untuk meneruskan perjalanan selain turun. Mungkin itu adalah sebuah kalimat yang harus "didengarkan" para poliTIKUS yang merasa paling pantas memimpin negri ini. Lalu pantas yang bagaimana yang dimaksudkan disini? yang nasionalis? religius? yang meneriakkan kaum muda?

wah... wah... sedikitpintar pusing tujuh keliling ketika melihat debat partai di salah satu televisi swasta. mereka saling memuji diri sendiri seolah-olah orang bakal tertipu dengan akting mereka yang sok sempurna dan paling tahu apa yang diperlukan oleh bangsa ini (termasuk kita-kita). padahal untuk mengurus keluarga mereka sendiripun belum tentu mampu berlaku adil. Nah, yang menjadi pertanyaan sekarang masa depan kita ini (baca Indonesia) mau diserahkan kepada pemimpin yang bagaimana? duh... bingungkan? he....

mungkin yang siap untuk turun ketika sudah merasa nyaman berada diatas?